Aku, panggil saja "Mawar", berusia 30an tahun, dilahirkan di sebuah pulau di seberang pulau Jawa, di kota P. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 4 bersaudara. Kakakku yg pertama dan kedua laki-laki, sedangkan yang ketiga perempuan. Kami berasal dari keluarga keturunan dan kami merupakan generasi ke 4 yang sudah menetap di negeri ini. Kakek buyut kami merupakan pendatang dari negeri jauh dari seberang di awal abad 20. Keluarga kami memulai bisnis benar-benar dari bawah. Menurut cerita orang tua kami, dulu kakek buyut kami hanya berjualan dengan pikulan bahan-bahan kebutuhan pokok seperti gula, garam, beras dll. keluar masuk kampung.
Usahanya baru berkembang dengan pesat setelah pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan, pemerintah pada waktu itu mulai menggalakkan usaha yang dilakukan oleh bangsa sendiri/pribumi. Waktu itu dikenal istilah AliBaba. Ali untuk pangggilan pribumi, sedangkan Baba untuk warga keturunan seperti kami. Waktu itu pengusaha pribumi asli diberikan kemudahan perizinan usaha, bahkan mengimport dari negara-negara lain, tapi umumnya mereka tidak punya banyak modal. Waktu itu banyak warga keturunan yang mempunyai banyak modal kemudian membeli ijin usaha yang diperoleh para pribumi tersebut, sehingga mereka secara mudah melakukan export import dengan negeri-negeri tetangga (Singapura, Malaysia, Hongkong, dll) yang pada waktu itu memang juga dikuasai olah warga dari etnis kami.
Singkat cerita, bisnis keluarga kami benar-benar menjadi semakin besar dan merambah ke segala bidang, mulai dari pertambangan, tambang emas, property, perkebunan, dll. Boleh dibilang kekayaan keluarga kami sudah diatas rata-rata dari orang kaya di negeri ini, above than ordinary rich.
Harta kekayaan kami yang amat melimpah itu sampai-sampai membuat orang tua kami kadangkala risau seandainya kami sekeluarga (tiba-tiba) meninggal sehingga tidak ada yang mengurus harta yang sedemikian banyaknya itu. Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan dengan pesawat secara bersama-sama. Andai kami sekeluarga akan melakukan liburan pada saat dan tempat yang sama, maka biasanya kami dibagi menjadi 2 atau 3 penerbangan, papa dan mama satu pesawat, dan kami sisanya juga dibagi 2 penerbangan yang lain. Sehingga apabila terjadi sesuatu musibah, maka akan tetap ada bagian keluarga kami yang masih selamat, dan tetap bisa mengurus bisnis dan kekayaan kami. Aku sengaja cerita panjang lebar tentang latar belakang keluarga kami, sebab ini akan berhubungan sekali secara emosi dengan kisah aku selanjutnya.
Papa kami lahir dan dibesarkan di pulau ini, selepas sekolah menengah atas beliau melanjutkan sekolah bisnis di negeri H, sehingga begitu kembali ke negeri ini, beliau manjadi business man yang amat handal, dan mempunyai banyak teman-teman bisnis di berbagai negara. Papa sebenarnya orang yang rendah hati, pendiam, bicaranya terukur dan seperlunya, jarang marah pada anak-anaknya. Sedangkan mama, sebenarnya berasal dari pulau lain, dia dulu pernah bekerja pada perusahaan kakek kami (orang tua dari papa), sebelum akhirnya bertemu papa dan menikah. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak pergaulan, sehingga kadang kami berpikir, papa seperti takluk pada mama. Banyak kebijakan perusahaan yang berasal dari ide mama, dan memang selalu sukses. Papa dan mama memang pasangan yang serasi, saling mengisi kekurangan.
Masa kecil aku lalui dengan penuh kebahagiaan, dan sejak SD sampai SMA aku disekolahkan disebuah sekolah swasta terkemuka di kota kami, yang siswanya banyak berasal dari anak-anak pejabat, bupati, gubernur, dll. Aku berbaur dengan siapapun tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang untuk mampir bermain ke rumah mereka (anak bupati, gubernur) sepulang sekolah, sehingga aku mengenal lebih dekat dengan keluarga mereka. Ini pula yang kelak bermanfaat buat perusahaan keluarga aku.
Di sekolah kami, ada pelajaran agama untuk tiap-tiap pemeluknya. Pada saat itu setiap ada jadwal pelajaran agama tertentu, maka bagi pemeluk agama yang lain diperbolehkan keluar kelas, tapi boleh juga tetap tinggal di kelas apabila memang menghendaki. Jadi misalnya hari ini giliran pelajaran agama Islam, maka murid-murid non muslim diperbolehkan meninggalkan kelas, begitupula sebaliknya apabila ada pelajaran agama lain. Tapi aku sendiri sering tetap tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan ibu guru agama Islam di kelas kami.
Entah kenapa aku yang sejak lahir dididik secara non muslim, bahkan tiap minggu aku beribadah di tempat ibadah kami, merasa tertarik dengan ajaran agama Islam. Aku sendiri tak tahu datangnya dari mana. Semacam ada panggilan dari hati aku yang paling dalam, tapi saat itu aku pikir mungkin itu hanya rasa keingin-tahuan semata, bukan mendalami secara jauh dan mendalam. Tiap mendengar azan, entah kenapa hati aku selalu bergetar. Dirumah kami yang besar, kadang hanya aku seorang diri, orang tua kami selalu sibuk di Jakarta sehingga hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakak aku ada yang sudah kuliah di luar negeri, sehingga rumah yang mempunyai 6 kamar yang besar-besar - yang seharusnya cukup untuk menampung 20 orang - hanya dihuni oleh aku sendiri. Pembantu, sopir, satpam, tinggal di paviliun khusus untuk mereka yang terletak terpisah dengan rumah induk. Dalam kesunyian itu hati aku merasa sejuk setiap mendengar ayat suci Al Quran yang kadang tak sengaja aku dengarkan di TV.
Kembali ke pelajaran agama di kelas. Entah mengapa aku makin tertarik untuk mendalami ajaran agama Islam setiap ada pelajaran agama di kelas. Melihat ibu guru yang mengenakan kerudung, dengan wajah yang bersih, bersinar, hati aku terasa sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru itu saja aku sudah merasa damai. Tanpa aku sadari kadang aku mencatat apa yang ibu guru itu ajarkan, bahkan aku mulai hapal diluar kepala ayat-ayat yang pendek-pendek. Itu semua benar-benar terjadi begitu saja, tanpa aku sadari dan tanpa bisa dicegah oleh diri aku sendiri. Pernah ibu guru tersebut menghampiri aku, yang tak sengaja secara reflex mencatat pelajaran tetang haji yang dia tulis di papan tulis. Beliau tahu aku non muslim, dan menghampiri tempat duduk ku, jantung ku berdebar keras membayangkan kemungkinan aku diusir dari kelas.
Tetapi..... ternyata beliau dengan senyumnya yang ramah melihat catatan yang aku tulis, sambil berkata, "Insya Allah kelak suatu saat Mawar bersama dengan ibu melaksanakan ibadah Haji ya..". Sejak saat itu hubunganku dengan Ibu guru (sebut saja ibu guru Aisyah) semakin akrab, aku hampir tidak sabar menunggu datangnya hari pelajaran ibu Aisyah. Hubunganku dengan beliau bagai anak dan ibu. Tetapi saat itu aku juga tetap mengikuti pelajaran agama yang saat itu masih aku anut, walau lebih banyak melamun, bahkan tidak mencatat sama sekali apa yg diajarkan.
Sebagai gadis remaja, tinggiku sekitar 160 cm, tentu sedang mekar-mekarnya dan giat-giatnya mencari pacar. Teman-temanku banyak yang mengatakan kalau tubuhku indah, proporsional, berwajah oriental, bakalan banyak menarik perhatian laki-laki. Plus dengan latar belakang keluargaku yang amat berkecukupan, makin banyak laki-laki yang tergila-gila padaku. Entah kenapa saat itu aku tidak tertarik dengan laki-laki yang berasal dari etnisku. Tiap hari jum'at melihat siswa-siswa pria melakukan ibadah shalat jum'at, hatiku langsung bergetar, membayangkan andai salah seorang dari mereka adalah pacarku, dengan wajah bersih bersinar dan masih basah tetesan air wudhu, berjalan ke masjid di seberang sekolah, ah... alangkan indahnya membayangkan wajah-wajah tersebut.
Tapi saat itu aku tahu diri, aku yang berasal dari etnis keturunan, apakah ada laki-laki pribumi yang mau menjadikan aku pacarnya. Aku tahu masih banyak dari mereka yang membedakan ras, dan berpacaran dengan ras kami masih dianggap memalukan, bahkan bisa jadi ejekan dan gunjingan di lingkungan keluarganya. Aku pernah berpacaran dengan anak bupati di kota ku, tapi kemudian dia memutuskan hubungan kami, dikarenakan ayahnya akan mencalonkan diri menjadi Gubernur, dan dia tidak mau ada anggota keluarganya yang bisa menghambat pencalonan tersebut. Misalnya anaknya dengan berpacaran dengan ras lain (??). Walau alasan itu amat sangat mengada-ada tapi aku terima dengan lapang dada. Memang aku sudah menyadari akan ada penolakan, karena aku berasal dari etnis non pribumi. Aku tahu orang tuanya tentu tak merestui anaknya berhubungan terlalu jauh dengan orang yang bukan dari ras mereka, dan berlainan agama.
Walau begitu hatiku sudah bulat untuk kelak memiliki pasangan hidup seorang pribumi, dan aku bahkan bersedia memeluk Islam sebagai agamaku. Kelak keputusan hidupku ini akan menjadi perjalanan panjang dan penuh cobaan dalam hidupku.
Selepas SMA aku melanjutkan study ke Ausie lalu ke negeri paman sam, mengikuti kakak-kakak ku yang sudah berada disana. Tak banyak yang perlu aku ceritakan dengan masa-masa studiku disana. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali ke tanah air, dengan gelar master di tangan dan aku mengabdi ke perusahaan keluargaku untuk membesarkan bisnis mereka. Dalam waktu singkat perusahaan kami memperoleh profit yang amat meningkat, dan terus membesar, serta mulai merambah ke banyak sektor bisnis.
Aku banyak memiliki akses ke para petinggi di daerahku karena semasa sekolahku dulu aku sudah mengenal beberapa keluarga mereka. Semua urusan perijinan yang menyangkut perusahaanku, bisa aku selesaikan dengan mudah. Aku masih tetap melajang di pertengahan usia 20an tahun. Banyak pria-pria yang berusaha menarik perhatianku, dari pengusaha-pengusaha muda yang sukses bahkan sampai pemilik perusahaan-perusahaan besar. Tapi hatiku tak bergetar sama sekali. Aku belum menemukan seseorang yang benar-benar menjadi soulmate ku. Sekedar mencari suami amatlah mudah bagiku, ibarat hanya menjentikkan jari maka puluhan pria akan mendatangiku. Tapi aku benar-benar mencari seorang soulmate, belahan jiwa sejati untuk mendampingiku.
Sampai suatu ketika perusahaan kami memperoleh karyawan baru dari kantor cabang kami di pulau Jawa. Orangnya 3 tahun lebih tua dariku, wajahnya bersih, dia berasal dari etnis pribumi Jawa. Tutur katanya lemah lembut, sopan, tubuhnya tinggi, proporsional, dan ah... ini dia.. dia seorang muslim yang shaleh. Sejak kedatangan dia di kantor kami, para wanita nggak habis-habisnya membicarakan tentang dia, dan berlomba bisa mendapatkan dia. Menurut laporan kantor kami, dia amat rajin, jujur dan berprestasi di kantor yang lama, sehingga dia dipromosikan ke pekerjaan yang lebih tinggi dan menantang di kantor kami ini. Kebetulan pekerjaan yang akan dia kerjakan akan menjadi satu divisi denganku. Sehingga aku akan banyak berhubungan dengan dia.
Mula-mula di bulan-bulan pertama aku masih bersikap 'Jaim' jaga image, karena aku ini anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi lama-lama hatiku nggak bisa berbohong, sedikit tapi pasti, hatiku luluh juga... aku mulai jatuh cinta. Pernah suatu ketika sehabis mengunjungi kantor gubernur, aku satu mobil dengan dia. Di tengah jalan dia minta ijin padaku untuk berhenti sebentar di masjid raya di kota ku untuk shalat ashar. Dari dalam mobil, aku perhatikan bagaimana dia berwudhu, lalu melangkah masuk ke masjid dan melakukan ibadah....ahhh.. andai aku kelak bisa mengikuti di belakang....
Awal-awalnya aku memanggil dia dengan sebutan formal di kantor 'Pak' dan dia juga memanggilku 'Ibu'. Tapi lama kelamaan secara tak sengaja aku mulai memanggil dia 'mas', karena aku sering lihat keluarga Jawa memanggil orang yang lebih tua, suami, kakak, dengan sebutan mas. Mulanya dia agak rikuh tiap aku panggil demikian, tapi lama kelamaan mulai terbiasa. Tapi itu hanya aku lakukan apabila hanya sedang berdua dengan dia, tidak di depan orang-orang kantor. Akupun mulai meminta dia memanggilku 'Dik', aku merasa risih tiap kali dia panggil aku 'Ibu Mawar'. Seiring dengan waktu, sesuai pepatah Jawa "witing tresno jalaran soko kulino", cinta akan tumbuh karena terbiasa selalu bersama-sama.
Bisa dibayangkan bagaimana awal kisah cinta kami. Di dalam mobil yang disupiri oleh supirku, kami sama-sama duduk di belakang. Awalnya kami hanya membicarakan dan membahas berkas-berkas pekerjaan, kadang secara tak sengaja tangan kami saling bersenAllah. Dan dia secara sopan segera menarik, dan minta maaf. Ah... sebel rasanya… padahal akulah yang menginginkannya. Tapi itu tak berlangsung lama, pada akhirnya dia takluk juga, kadang aku biarkan tangan dia memegang berkas, lalu aku pura-pura membahasnya sambil tanganku menyentuh jari dan tangannya. Kadang aku genggam jarinya, dan lama kelamaan dia memberikan response. Dia juga menggenggam tanganku...ahh.
Kadang kalau mobil kami sudah mau sampai tujuan, aku pura-pura minta supirku untuk kembali ke tempat lain, aku pura-pura ada yang tertinggal.. padahal aku hanya ingin berlama-lama dengan dia (sebut saja mas Fariz) di mobil. Pernah suatu ketika aku pura-pura ada yang tertinggal dan suruh supirku membawa kami berdua ke rumahku. Begitu mobil kami memasuki halaman rumahku yang besar, wajahnya tampak pucat pasi. Dia tampak ketakutan dan gugup. Dia bilang nanti kalau papaku (alias big boss dia) akan marah kalau melihat dia jam kerja begini malah mampir kerumah dia. Aku bilang tak perlu takut, bukankah aku anaknya big boss, yang membawa dia kesini.
Hampir setahun sudah dia bekerja bersama denganku, dan hubungan kami sudah makin erat, tapi dia belum menyatakan cintanya padaku. Mungkin dia takut aku akan menolaknya, apalagi keyakinan kami pada saat itu masih berlainan. Hingga suatu ketika dia menelponku, dan mengajak bertemu di suatu restoran di luar kota, dia memintaku datang tanpa sopir. Dia tidak mau ada orang kantor yang melihat kami berdua. Di restoran itu dia menyatakan cintanya padaku... langsung saat itu juga aku terima. Dan aku katakan pada dia, kalau aku merasa mas Fariz adalah soulmate ku. Aku akan bersedia memeluk Islam mengikuti agama yang dia anut. Aku juga katakan kalau memang aku sudah sejak lama tertarik dengan agama Islam, jadi mas Fariz semoga bisa menjadi pembimbingku. Aku bisa melihat air mata dia meleleh dari kedua matanya. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat seorang laki-laki berlinangan air mata karena aku, tak terasa akupun tak kuasa menahan airmataku meleleh dipipiku. Aku yakin aku sudah mendapatkan 'Soulmate' ku dan akan aku pertahankan sampai kapanpun dan dengan cara apapun.
Di kantor kami tetap bekerja seperti biasa, seperti tak ada hubungan suatu apapun. Tetapi di luar kantor kami benar-benar sepasang kekasih yang lagi jatuh cinta, dia mulai mengajariku shalat, dan sedikit-sedikit bacaan doa. Dia memang benar-benar lelaki yang taat, dia menjaga kesopananku, tak pernah melebihi batas, walau kadang aku yang menggoda, tapi dia selalu bilang, sabar... tunggu tanggal mainnya. Tapi serapat apapun kami tutupi hubungan kami, akhirnya sedikit demi sedikit bocor juga oleh orang-orang kantor kami. Sampai akhirnya terdengar di telinga papaku.
Suatu hari tiba-tiba papaku datang ke ruanganku, padahal papaku amat sangat jarang datang ke ruang kerjaku. Kalau ada keperluan, biasanya aku yang dipanggil menghadap. Aku lalu diajak bicara berdua dengan beliau. Mula-mula papa tidak menanyakan hubunganku dengan Fariz, tapi sedikit demi sedikit dia mulai mengarahkan pembicaraan ke arah sana. Sampai akhirnya dia menanyakan kebenaran hubunganku dengan Mas Fariz. Aku tak sanggup menjawab, wajahku tertunduk. Papaku terus menatapku, menunggu jawabanku. Aku tak sanggup berbohong, kalau aku bilang tidak, itu bertolak belakang dengan hatiku, sebaliknya kalau aku bilang iya, aku khawatir pekerjaan Mas Fariz akan manjadi taruhannya. Akhirnya aku hanya bisa menangis....
Keesokan harinya, Mas Fariz tidak hadir lagi di kantor. Menurut orang-orang kantor, dia dipindahkan kembali ke pulau Jawa mulai hari ini, dan aku mulai kehilangan kontak dengan dia. Seminggu kemudian dia menelponku, dia cerita panjang lebar bahwa pada hari itu, setelah papa menemuiku, ternyata papa langsung menemui dia, dan keesokan paginya dia sudah harus kembali ke kantor yang lama. Dia juga cerita kalau keadaan makin parah karena nyaris tiap karyawan di kantornya sudah mendengar kabar hubungan dia dengan aku. Dan banyak yang menggunjingkan kalau mas Fariz mengincar harta dan kedudukan, karena berpacaran dengan anak pemilik perusahaan. Dia sampai berulang kali menyebut nama Allah, dan bersumpah kalau dia mencintaiku bukan karena itu semua.
Dua minggu kemudian, dia memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan kami, tapi kami tetap saling berhubungan melalui telepon. Dia berjanji mencoba mencari pekerjaan di perusahaan lain yang punya cabang di kotaku, sehingga bisa bekerja di kotaku dan kembali menemuiku. Allah memang sudah berencana, akhirnya 3 bulan kemudian mas Fariz sudah mendapat pekerjaan dan ditempatkan kembali di kotaku walau dengan gaji yang jauh lebih kecil. Dia bilang sekarang sudah bebas berhubungan denganku, dia tidak ada ikatan apa-apa dengan perusahaanku. Tak ada yang bisa melarang. Aku amat terharu, dia korbankan karir pekerjaannya karena aku. Aku berjanji apapun yang terjadi aku tak akan tinggalkan dia.
Sekarang kami bebas berhubungan, tak perduli lagi dengan omongan orang-orang kantor, karena dia toh tak lagi bekerja di perusahaan kami ini. Tapi ternyata papa kembali mengetahui hal ini, dan kali ini malahan mama ikut turun tangan. Aku diceramahi habis-habisan.
Mereka sebenarnya tidak membeda-bedakan ras, mereka tidak berkeberatan aku berhubungan dengan siapapun, tapi mereka mulai curiga kalau aku mulai akan pindah keyakinan. Dan itu mereka kurang bisa menerima. Aku sudah jelaskan baik-baik bahwa aku sudah cukup dewasa dan bisa mengambil keputusan buat hidupku sendiri tanpa tergantung papa dan mama. Ternyata jawabanku yang demikian itu membuat mereka tambah murka dan tersinggung. Mereka katakan bahwa tanpa mereka jalan hidupku tidak akan seperti ini. Banyak orang yang akan rela mati demi merasakan hidup sepertiku. Rumah mewah, supir tersedia tiap saat, mobil mewah ada di garasi, uang melimpah, dihormati kemana saja pergi, dll. Mereka juga katakan, tanpa mereka aku tak akan pernah sanggup memperoleh kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis mendengar apa yang mama papaku katakan. Tapi hatiku sudah bulat, apapun yang terjadi aku tak akan meninggalkan Mas Fariz. Cinta pertamaku dan terakhir.
Walau orang tuaku terus menentang, cintaku ke mas Fariz tak pernah surut. Akupun makin giat memperdalam agama Islam. Seringkali aku saat istirahat kantor, aku pergi ke toko buku besar di Mal. Aku baca-baca buku tentang Islam. Pernah aku ajak orang kantor untuk ikut aku ke toko buku tersebut. Dan dia tegur aku, karena dia pikir aku salah memilih bagian rak buku. Dia ingatkan aku kalau aku dibagian rak buku-buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca buku-buku tentang Islam.
Makin hari hubunganku dengan papa mama makin renggang. Padahal aku sudah bicara sebaik mungkin dengan mereka. Kakak-kakakku semuanya juga sudah terprovokasi. Mereka mulai menjauhiku. Kedua kakak laki-lakiku sudah menikah dan menetap di Jakarta menjalankan perusaahan kami disana, sehingga papa dan mama sekarang lebih banyak menetap di kota kami.
Di rumah, perlakuan mereka makin hari makin berubah terhadapku. Aku makin dianggap bukan lagi bagian keluarga mereka. Tiap makan malam, mereka tak lagi mengajakku makan bersama-sama di meja makan. Pembantu di rumah baru disuruh memanggilku untuk makan apabila papa mama dan kakak perempuanku sudah selasai makan, dan makanan yang ada di meja makan, sisa mereka, yang aku makan. Pembantu tidak diperbolehkan menambah makanan. Bayangkan, aku memakan seadanya sisa dari mereka. Andai mereka makan ayam, maka aku hanya tinggal kebagian ceker dan kepalanya saja. Bisa dibayangkan bagaimana sakit hatiku rasanya. Tapi aku tetap bersabar, dan mas Fariz selalu mengingatkan aku untuk tetap berbakti pada orang tua. Padahal kalau aku mau, bisa saja aku pergi ke restoran yang paling mahal di kotaku ini.
Puncak dari semua itu terjadi pada suatu malam.
Kakak perempuanku memang sebenarnya kasihan kepadaku, sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang baru dimasak di dapur. Sehingga pada saat mama papa selesai makan, dia diam-diam menghidangkan untukku. Suatu ketika secara tak terduga, papa mamaku kembali ke meja makan, dan mereka memergoki kakakku yang membawa makanan yang dia simpan di dapur untukku. Langsung mamaku merebut piring yang dibawa kakakku, dan melemparkannya ke lantai, sambil menyindir bahwa kakakku tak perlu kasihan padaku, karena aku sanggup hidup tanpa diberi makan dari mama papa dan bisa hidup mandiri tanpa mereka. Ohh.... Mereka rupanya sudah amat membenciku. Hancur berkeping-keping hatiku pada saat itu. Aku hanya bisa menangis, tapi aku tak menyesal, dan aku akan terus bertahan dengan pilihan hidupku.
Mas Fariz menyarankan aku untuk bicara baik-baik dengan mama dan papa, mudah-mudahan mereka akan luluh dan mengerti. Suatu malam, aku berkesempatan mendatangi dan berbicara dengan mereka, dan aku secara baik-baik dan sopan, tak lupa meminta maaf apabila aku salah pada mereka. Aku jelaskan baik-baik pada mereka apa yang hatiku rasakan, aku tumpahkan semuanya. Tetapi justru itu membuat mereka tambah murka, mereka juga malah menuduhku telah diguna-guna dan menyarankanku supaya sadar. Ya Allah... Aku sehat wal afiat, Insya Allah saat itu tak ada satupun guna-guna pada diriku. Semua keinginanku adalah murni dari hatiku, panggilan jiwaku, yang tidak bisa lagi aku cegah. Aku jelaskan pada mama dan papa, bahwa aku sudah cukup umur, dan bukan gadis remaja lagi, sehingga apapun keputusanku, aku bisa mempertanggung-jawabkannya. Aku bisa mandiri andai keputusan hidupku itu memang menghendaki demikian. Papa dan mamaku tetap pada pendirian mereka, bahkan mereka menantangku, kalau sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan seluruh hartaku yang aku punya selama ini, yang aku dapat selama hidup dengan mereka.
Karena tekadku sudah bulat, malam itu pula seluruh kartu kredit, ATM, buku-buku bank, aku serahkan pada mereka. Uang yang aku punya benar-benar hanya tinggal yang ada di dompetku. Aku sepertinya tinggal menunggu waktu saja untuk meninggalkan rumah ini. Keesokan paginya, karena ada suatu keperluan aku ingin membuka lemari besi tempat penyimpanan surat-surat berharga di rumah kami. Tetapi berulang kali aku mencoba, aku tak bisa membukanya. Ternyata nomor kombinasinya sudah diubah oleh mama papaku. Padahal didalamnya ada barang-barang penting pribadiku seperti Ijasah, perhiasan, dll. Aku mencoba menelpon papaku menanyakan hal ini, dan lagi-lagi aku mandapatkan jawaban yang menyedihkan hatiku. Papaku menyindirku, kalau sanggup hidup mandiri, kenapa masih mau membuka lemari besi milik keluarga, pasti ada barang-barang yang mau dijual didalamnya. Aku benar-benar sudah dikucilkan dan mereka benar-benar mencoba menyiksaku dengan cara demikian, sehingga mereka pikir aku akan menyerah, dan akhirnya mengikuti apa yang mereka mau. Aku adukan semua itu ke mas Fariz dan aku katakan kalau aku akan meninggalkan rumah orang tuaku. Dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya mengingatkan aku jangan sampai memutus silaturahmi dengan orang tua....
(Maaf tulisan tidak muat, kisah selengkapnya di http://kiosramah.com atau klik disini.)
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Free download [Internet Explorer/Firefox]:
Hidayahnet Toolbar [no virus, adware, malware etc]
http://hidayahnet.ourtoolbar.com
--------------------------------------------------------------------------
**Boycott Israel**Support Palestine**
All views expressed herein belong to the individuals concerned and do not in any way reflect the official views of Hidayahnet unless sanctioned or approved otherwise.
If your mailbox clogged with mails from Hidayahnet, you may wish to get a daily digest of emails by logging-on to http://www.yahoogroups.com to change your mail delivery settings or email the moderators at hidayahnet-owner@yahoogroups.com with the title "change to daily digest".
--------------------------------------------------------------------------
Affiliates:
iPerintis - eGroup untuk Saintis dan Jurutera Muslim
http://groups.yahoo.com/group/iperintis/
Recommended sites:
Angkatan Belia Islam Malaysia : http://www.abim.org.my
Ikram Malaysia : http://www.ikram.org.my
Palestinkini Info : http://www.palestinkini.info
Partai Keadilan Sejahtera : http://pk-sejahtera.org
Fiqh Siber : http://al-ahkam.net/
The Muslim Brotherhood : http://ikhwanweb.com
Hidayahnet website : http://hidayahnet.multiply.com/
Hidayahnet Toolbar [no virus, adware, malware etc]
http://hidayahnet.ourtoolbar.com
--------------------------------------------------------------------------
**Boycott Israel**Support Palestine**
All views expressed herein belong to the individuals concerned and do not in any way reflect the official views of Hidayahnet unless sanctioned or approved otherwise.
If your mailbox clogged with mails from Hidayahnet, you may wish to get a daily digest of emails by logging-on to http://www.yahoogroups.com to change your mail delivery settings or email the moderators at hidayahnet-owner@yahoogroups.com with the title "change to daily digest".
--------------------------------------------------------------------------
Affiliates:
iPerintis - eGroup untuk Saintis dan Jurutera Muslim
http://groups.yahoo.com/group/iperintis/
Recommended sites:
Angkatan Belia Islam Malaysia : http://www.abim.org.my
Ikram Malaysia : http://www.ikram.org.my
Palestinkini Info : http://www.palestinkini.info
Partai Keadilan Sejahtera : http://pk-sejahtera.org
Fiqh Siber : http://al-ahkam.net/
The Muslim Brotherhood : http://ikhwanweb.com
Hidayahnet website : http://hidayahnet.multiply.com/
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment